Tetes Sebuah Harapan
Karya : Alisa Latifatul Munawaroh
Petir menggelegar merobek kebisuan
senja. Angin berhembus kencang menerbangkan sisa-sisa atap yang telah rapuh.
Angan-angan terbang melayang berpadu dengan alunan tetesan hujan. Sudah sejak
lama anak itu termangu memandangi butiran air yang menggelinding, menggelinding
melewati satu-satunya jendela kaca di rumah tua. Setiap tetesan, tersimpan berbagai
keluh kesah hidupnya, yang hanya bisa ditorehkan ketika hujan, ketika kaca itu mulai
kedinginan.
Hari ini, Tono memang sedang tidak mendendangkan
lagunya, mengalunkan suara emasnya di jalanan, ataupun melambai-lambaikan
tangan mungilnya di halaman parkir. Ia tak tega jika harus membiarkan ibunya terkena
guyuran air dari sela-sela penyangga atap rumah. Ia tak tega melihat
guratan-guratan kesedihan dan ketakutan yang terukir di wajah adik
kesayangannya. Tetapi, ia juga bingung, ke mana kaki ringkihnya harus menapak,
sementara semua dinding telah termakan usia.
Semuanya telah rapi, tak ada lagi
kekhawatiran jikalau nanti langit menangis lagi, Tono siap melakukan semuanya.
Ia siap mengadu nasib di jalanan kota, siap membiarkan tubuhnya melawan panas
terik sang surya, tanpa pelindung apa-apa. Ia tampak cerah, secerah mobil mewah
yang akan menunjang impinnya.
Dua hari berlalu, waktu melangkah
tak beraturan, semakin cepat dan cepat. Dua hari itu pula, Tono tak
henti-hentinya melirik sebuah benda berwarna hitam yang terpajang di etalase
toko tempat ia membanting tulang. Ia selalu terpana dengan sepatu model baru
tersebut. Wajar saja, sepatu yang menemani kakinya bersekolah tak lagi layak
pakai, semua bagian telah rusak. Namun, ia tak bisa menceritakan keinginan yang
mendera hatinya, ia tak sanggup menambah beban di pundak ibunya. Hanya tetesan
hujan yang mengerti, yang bisa dijadikan tempat untuk mencurahkan semua isi
hati. “Ya Allah, kapan aku bisa memiliki sepatu itu?” ucap Tono di dalam
sanubari.
Detik demi detik bergulir, hati Tono
tak bisa tenang lagi. Ia takut jika sepatu impiannya menjadi milik orang lain.
Ia hanya bisa berdoa dan berdoa. “ Ya Allah aku bersyukur engkau masih
memberiku kesempatan untuk memandangi sepatu itu, biarkanlah aku memilikinya ya
Allah, biarkanlah aku memilikinya tanpa harus menyusahkan ibu. Segalanya kuserahkan
hanya kepada Engkau. Amin” air mata perlahan-lahan berjalan diselingi rintikan lembut
hujan yang mengelus pipi. Hanya itu yang bisa ditumpahkan, tanpa ada seorangpun
yang tahu pinta hati kecil Tono.
Tin…tin…tin… Tono dikagetkan oleh
suara klakson mobil sedan warna merah menyala.
Sejenak, pandangan mata Tono berpindah dari sepatu ke mobil tadi, ia
memberikan aba-aba agar mobil tersebut parkir tepat disamping pohon palem.
Selesai memarkirkan, Tono kembali ke tempat ia duduk. Ia lupa akan sepatunya.
Sejam kemudian, jantung Tono berdetak
kencang, dalam hidungan detik jiwanya
lumpuh. “Benda itu menghilang, benda itu menghilang” ucap Tono tanpa daya.
Hatinya melemah, semuanya terasa suram. Harapannya telah musnah.
Tono memutuskan untuk bangkit dan
masuk ke toko sepatu dengan penuh harapan,
“Maaf Mbak,
tadi sepatu yang dipajang di sini mana ya mbak?” tanya Tono dengan suara
gemetar.
“Sepatu yang mana?” jawab penjaga toko.
“Sepatu hitam yang di sini?” kata Tono sambil
menunjuk suatu tempat,
“Sepatu hitam? Oh, sepatu itu. Sepatunya sudah
dibeli sama bapak-bapak lima belasan menit yang lalu Dek”
“Bapak yang mana? Pakai baju apa?”
“Baju apa ya? Saya lupa Dek”
“Ayolah Mbak, coba diingat-ingat lagi”
“Oh, bapak yang itu Dek, yang masuk ke mobil
hitam itu” kata toko sambil meunjuk seseorang.
“Mbak yakin?”
“Yah, adiknya malah nggak percaya.
Saya yakin sekali, memang kenapa?”
“Oh, terimakasih Mbak” Tono berlalu
tanpa menjawab pertanyaannya. Penjaga toko hanya bisa menggelengkan kepala
sambil melihat Tono berlalu.
Keluar dari toko, bapak tadi sudah
menancapkan gas pada mobil mewahnya, Tono melangkahkan kaki dengan cepat
mengejar mobil tersebut. Karena mobilnya berjalan dengan cepat, Tono kehilangan
jejak. Tubuhnya semakin lemas, hatinya luluh lantak seketika. Langkahnya menepi,
ia hanya bisa berjalan perlahan untuk menyelesaikan hari ini.
“Ya Allah, aku ikhlas dengan
keputusan Engkau, terimakasih untuk hari ini, untuk pelajaran berharga yang
telah kau berikan, pelajaran untuk selalu bersyukur dengan apa yang telah aku
miliki dan senantiasa bersabar menerima semua kehendak Engkau” goresan Tono
memenuhi kaca yang berembun, ruang hatinya kini telah hangat kembali. Tak ada
penyesalan yang tertinggal untuk hari ini, segala kerisauan telah musnah
bersama ribuan bintang yang menghias langit-langit malam. Ia yakin, dibalik
semuanya, pasti ada ada hikmah terpendam. Bibir kecilnya mulai tersenyum
hangat.
Sepulang sekolah, Tono turun ke
jalan untuk bernyanyi. Ia benar-benar meresapi lagu yang dilantunkannya, banyak
orang yang tertarik untuk sekadar mengisi waktunya walaupun kepanasan, serta
tidak ragu-ragu untuk memberikan sedikit imbalan.
Selesai bernyanyi, seorang ibu
mengenakan baju biru mendekati Tono.
“Pandai sekali kamu Nak” kata ibu
itu menyanjung.
“Ibu bisa saja, terimakasih” balas
Tono dengan senyuman.
“Siapa namamu?”
“Nama saya Tono”
“Nama yang indah, kamu mau ibu kasih
hadiah?”
“Hadiah untuk apa?”
“Hadiah untuk kamu karena telah
berhasil menghibur hati ibu. Mau kan?”
“Wah, iya. Hadiah apa?”
“Masuklah ke dalam mobil ibu,
kemudian ibu akan segera memberikan hadiahnya”
“Ta…ta…pi”
“Sudah, tidak usah sungkan. Ibu tidak berniat
macam-macam kok.”
“Tidak usah, maaf sebelumnya”
“Lho, kenapa? Kamu pasti tidak akan menyesal”
“Tapi, sa…” belum selesai berbicara, Tono
didorong oleh ibu tadi masuk ke mobil.
Setelah masuk, Tono ketakutan, ia takut ibu itu
berbuat macam-macam. Pikirannya terbang tak terkendali. Namun, dilain itu, Tono
yakin kalau ibu itu berniat baik kepadanya.
Perhatian Tono
beralih setelah melihat dua buah benda tergeletak di atas jok tengah, sebuah
gitar bekas dan sepasang sepatu yang masih bagus tertata rapi. Ia tak tau apa
yang akan diberikan kepadanya sebagai hadiah. Namun, tak terbendung lagi,
tangan Tono hangat terkena aliran air mata yang terjun melewati kedua pipinya
0 komentar:
Posting Komentar