RSS

Cerpen 3 THE STORY OF MY LIFE

Hai sobat, udah lamaaaa banget nih nggak aktif blogging lagi, tapi sekarang gue udah come back. Di postingan kali ini gue cuma nge post cerpen bikinan gue yang merupakan intepretasi dari lagunya One Direction - Story Of My Life. Tahu, kan? sebelumnya bagi yang belum tahu lagunya atau mau lihat liriknya, bisa klik di sini. okedeh nggak basa-basi lagi. Silakan membaca :)




THE STORY OF MY LIFE

Di jalan yang sunyi ini, aku menapaki setiap senti jalan yang penuh dengan kenangan manis. Bila ku ingat-ingat, mungkin hanya akan menancapkan luka yang lain. Luka yang berusaha kututupi dengan bunga yang mekar, tetapi tetap saja bekasnya tidak mau hilang. Sudah hampir satu minggu aku berpisah dengannya, dia yang meninggalkan ilusinya, dia yang meninggalkan berbagai macam ingatan yang kini kurasakan begitu kelam. Rasa sakit ini sebernya sederhana, tetapi mengapa terasa begitu rumit? Apa mungkin aku yang berlebihan? Tidak! Semua ini memang menyakitkan.


 


Setahun sebelumnya…
            Burung berkicau menandakan matahari telah menyapa dunia, sinar matahari mengelus lembut pipiku yang basah karena film romantis yang ku tonton tadi malam. Embun di jendela menyegarkan pandanganku yang tadi malam keruh dipenuhi mimp-mimpi tak jelas.
            Juli 2013. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Seragam putih abu-abu menandakan bahwa aku bukanlah anak kecil lagi. Aku telah berubah, bertransformasi menjadi seorang laki-laki yang siap menerima orang lain untuk ambil bagian dalam sejarah hidupku.
            Jam berdentang menunjukkan pukul 06.15 pagi, aku berangkat sekolah diantar ayah. Kakiku melangkah memasuki ruangan kelasku, MIA 6. Semua muka di ruangan ini terasa begitu asing, maklumlah kami berasal dari berbagai smp yang berbeda. Setelah sesi perkenalan selesai, aku mulai mengenal teman-teman baruku, mereka cukup menyenangkan.
            Kehidupan yang seperti ini masih terasa mengganjal, tiba-tiba seorang wanita menghampiriku.
            “ Hai, aku Arin. Namamu siapa? Maaf tadi aku tidak memperhatikan.”
            “ Oh, hei. Nama gue Andi Erlangga Utama, lo Arin Florensia Talita, kan? Tadi gue merhatiin.” Jawabku.
            “Yaps, senang berkenalan denganmu.”
“Aku juga.”
Percakapan singkat segera berakhir setelah bel istirahat berbunyi. Aku memutar otakku sebentar, makhluk apa yang telah merasuki gadis itu. Aku tidak peduli lagi.
Sesampainya di rumah, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia berhasil menguras pikiranku, aku mati penasaran dengannya.
Seminggu bersekolah, aku berhasil mendapatkan nomor telepon Arin beserta akun facebooknya. Kukumpulkan keberanianku untuk menghubunginya, tidak pernah kusangka, dia merespon balik. Dia begitu berbeda dengan gadis yang lain, dan kupikir aku menyukainya. Dia memang tidak begitu cantik, sifatnya yang ceria, percaya diri, mudah bergaul, dan nyambung diajak ngobrol membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.


 


            Hampir 12 bulan waktu berjalan setelah aku mengenalnya. Sepuluh bulan yang lalu, tepatnya awal musim panas di bulan oktober, aku mengajak Arin mendaki bukit yang tenang. Aku menceritakan segala perasaanku padanya. Sejak saat itu juga, kami dalam sebuah hubungan.
            Kami menjadi pasangan yang sempurna di SMA kami, setidaknya menurutku memang seperti itu. Setiap detik yang kuhabiskan dengannya terasa sempurna. Dia satu-satunya yang bisa menghangatkan hatiku, tidak dipungkiri, cinta memang begitu menyenangkan.
            Kaki mebawaku menulusuri jejak yang pernah aku tapaki bersama Arin. Begitu banyak butir kenangan yang masih tertinggal di sini. Air mata kembali merangkak menuruni pipi bercampur dengan tangisan langit. Hatiku masih saja tidak percaya bahwa kami sudah berpisah.
            Kupandangi dinding facebook yang memuakkan itu, di dinding ini tertata berbagai macam kenangan yang tidak akan pernah bisa terhapus. Foto-foto kami berdua terlihat begitu bahagia, semakin membuat hatiku sakit luar biasa. Telah kucoba melapangkan hatiku setelah kejadian pagi kelabu itu, nyatanya semua sia-sia. Setelah dia memutuskan untuk berpisah denganku, semua orang yang datang setelahnya terasa hambar, aku tidak bisa menyambut yang lain, hatiku hanyalah untuknya.
            Lima puluh delapan hari yang lalu, setiap inci dari tubuhku terasa kelu, air mata merebak tanpa  bisa terbendung lagi. Satu kalimat meluncur sari bibir manis Arin, dia mengatakan bahwa kami telah berubah, segala sesuatunya terasa hambar. Perkataannya terdengar begitu menyakitkan, menerobos melalui gendang telinga. Aku bisa merasakan sebuah permohonan dalam kalimat itu, Arin ingin aku mengakhiri hubungan ini, yang mungkin jika aku mengakhirinya, semua perkataannya akan tertulis di batu nisanku kelak, dia mungkin tak mengerti bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.
            Merangkai luka itu lagi, sakitnya masih terasa sampai sekarang, menyayat hatiku yang sepenuhnya hanya milik Arin. Aku bahkan mulai merasa lelah meratapinya berminggu-minggu. Tanah yang kupijak terasa terbelah, langit yang ku pandang kini semakin mengerikan, dinding di kamarku serasa ingin ambruk menghantamku, khayalanku terus melambung seakan dunia telah rusak dan berhenti berputar. Aku meradang memikirkannya, tak ada penyesalan aku berpegang teguh pada satu hati, tetapi nyatanya hati yang ku pegang erat itu semakin menghempaskanku dengan dahsyat.
            Hati berbisik untuk menemui Arin dan memperbaiki hubungan kita. Aku menghubunginya agar mau bertemu denganku di tempat biasa kami saling bertemu. Yaris merah mengantarkanku menuju kerumah Arin. Di dalam mobil, hanya kebisuan yang tercipta. Malam itu begitu dingin, sedingin perasaan Arin padaku. Aku memberanikan memegang tangannya yang terlihat kedinginan, dan waktu kurasakan membeku seketika.
            Satu kata, dua kata mulai keluar dari mulutku, ku katakan aku sangat menikmati kebersamaan kita. Kukilas lagi kenangan-kenangan indah saat kami berdua bersama, meyakinkannya bahwa dia akan bahagia jika terus bersamaku. Aku bisa melihat dari matanya bahwa dia mulai muak dengan semua ini, tetapi aku tidak menyerah karena jika aku berusaha, kisah kita mungkin akan berbeda mulai malam ini.
            Kulihat lagi tulisan-tulisan indahku yang pernah mewarnai dunia, tulisan-tulisan itu kutujukan hanya untuk Arin seorang. Aku sangat merindukan waktu dimana dia menemaniku menulis untuknya. Duniaku yang dulu sangat berwarna, dan sekarang yang tersisa hanyalah warna abu-abu, begitu pekat sampai aku tidak dapat melihat warna yang lain. Sekali lagi aku mencoba untuk membuka hatiku untuk yang lain agar bisa melupakannya, tetapi hati ini menolak keluar dari sangkar.
            Aku sadar bahwa esok hari berkutnya yang terjadi hanyalah kenyataan bahwa kisahku dan Arin tinggal seberkas cahaya pagi yang akan hilang ditelan bukit. Aku bukanlah pecundang yang mudah menyerah atas apa yang terjadi, cintaku akan ku perjuangkan untuk Arin, dia adalah satu-satunya.
            Setelah sekian lama, akhirnya kesempatan untuk mendapatkan hubungan yang utuh dengan Arin kembali. Walaupun sangat sulit sesulit mengejar awan, tetapi aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Dia masa lalu, masa kini, dan masa depanku.