THE
STORY OF MY LIFE
Di
jalan yang sunyi ini, aku menapaki setiap senti jalan yang penuh dengan
kenangan manis. Bila ku ingat-ingat, mungkin hanya akan menancapkan luka yang
lain. Luka yang berusaha kututupi dengan bunga yang mekar, tetapi tetap saja bekasnya
tidak mau hilang. Sudah hampir satu minggu aku berpisah dengannya, dia yang
meninggalkan ilusinya, dia yang meninggalkan berbagai macam ingatan yang kini
kurasakan begitu kelam. Rasa sakit ini sebernya sederhana, tetapi mengapa
terasa begitu rumit? Apa mungkin aku yang berlebihan? Tidak! Semua ini memang
menyakitkan.
Setahun sebelumnya…
Burung berkicau menandakan matahari
telah menyapa dunia, sinar matahari mengelus lembut pipiku yang basah karena
film romantis yang ku tonton tadi malam. Embun di jendela menyegarkan
pandanganku yang tadi malam keruh dipenuhi mimp-mimpi tak jelas.
Juli 2013. Hari ini adalah hari
pertamaku masuk sekolah. Seragam putih abu-abu menandakan bahwa aku bukanlah
anak kecil lagi. Aku telah berubah, bertransformasi menjadi seorang laki-laki
yang siap menerima orang lain untuk ambil bagian dalam sejarah hidupku.
Jam berdentang menunjukkan pukul
06.15 pagi, aku berangkat sekolah diantar ayah. Kakiku melangkah memasuki
ruangan kelasku, MIA 6. Semua muka di ruangan ini terasa begitu asing,
maklumlah kami berasal dari berbagai smp yang berbeda. Setelah sesi perkenalan
selesai, aku mulai mengenal teman-teman baruku, mereka cukup menyenangkan.
Kehidupan yang seperti ini masih
terasa mengganjal, tiba-tiba seorang wanita menghampiriku.
“ Hai, aku Arin. Namamu siapa? Maaf
tadi aku tidak memperhatikan.”
“ Oh, hei. Nama gue Andi Erlangga
Utama, lo Arin Florensia Talita, kan? Tadi gue merhatiin.” Jawabku.
“Yaps, senang berkenalan denganmu.”
“Aku juga.”
Percakapan singkat segera berakhir setelah
bel istirahat berbunyi. Aku memutar otakku sebentar, makhluk apa yang telah
merasuki gadis itu. Aku tidak peduli lagi.
Sesampainya di rumah, aku tidak bisa
berhenti memikirkannya. Dia berhasil menguras pikiranku, aku mati penasaran
dengannya.
Seminggu bersekolah, aku berhasil
mendapatkan nomor telepon Arin beserta akun facebooknya. Kukumpulkan
keberanianku untuk menghubunginya, tidak pernah kusangka, dia merespon balik.
Dia begitu berbeda dengan gadis yang lain, dan kupikir aku menyukainya. Dia memang
tidak begitu cantik, sifatnya yang ceria, percaya diri, mudah bergaul, dan
nyambung diajak ngobrol membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.
Hampir 12 bulan waktu berjalan
setelah aku mengenalnya. Sepuluh bulan yang lalu, tepatnya awal musim panas di
bulan oktober, aku mengajak Arin mendaki bukit yang tenang. Aku menceritakan
segala perasaanku padanya. Sejak saat itu juga, kami dalam sebuah hubungan.
Kami menjadi pasangan yang sempurna
di SMA kami, setidaknya menurutku memang seperti itu. Setiap detik yang
kuhabiskan dengannya terasa sempurna. Dia satu-satunya yang bisa menghangatkan
hatiku, tidak dipungkiri, cinta memang begitu menyenangkan.
Kaki mebawaku menulusuri jejak yang
pernah aku tapaki bersama Arin. Begitu banyak butir kenangan yang masih
tertinggal di sini. Air mata kembali merangkak menuruni pipi bercampur dengan
tangisan langit. Hatiku masih saja tidak percaya bahwa kami sudah berpisah.
Kupandangi dinding facebook yang
memuakkan itu, di dinding ini tertata berbagai macam kenangan yang tidak akan
pernah bisa terhapus. Foto-foto kami berdua terlihat begitu bahagia, semakin
membuat hatiku sakit luar biasa. Telah kucoba melapangkan hatiku setelah
kejadian pagi kelabu itu, nyatanya semua sia-sia. Setelah dia memutuskan untuk
berpisah denganku, semua orang yang datang setelahnya terasa hambar, aku tidak
bisa menyambut yang lain, hatiku hanyalah untuknya.
Lima puluh delapan hari yang lalu,
setiap inci dari tubuhku terasa kelu, air mata merebak tanpa bisa terbendung lagi. Satu kalimat meluncur
sari bibir manis Arin, dia mengatakan bahwa kami telah berubah, segala
sesuatunya terasa hambar. Perkataannya terdengar begitu menyakitkan, menerobos
melalui gendang telinga. Aku bisa merasakan sebuah permohonan dalam kalimat
itu, Arin ingin aku mengakhiri hubungan ini, yang mungkin jika aku
mengakhirinya, semua perkataannya akan tertulis di batu nisanku kelak, dia
mungkin tak mengerti bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.
Merangkai luka itu lagi, sakitnya
masih terasa sampai sekarang, menyayat hatiku yang sepenuhnya hanya milik Arin.
Aku bahkan mulai merasa lelah meratapinya berminggu-minggu. Tanah yang kupijak
terasa terbelah, langit yang ku pandang kini semakin mengerikan, dinding di
kamarku serasa ingin ambruk menghantamku, khayalanku terus melambung seakan
dunia telah rusak dan berhenti berputar. Aku meradang memikirkannya, tak ada
penyesalan aku berpegang teguh pada satu hati, tetapi nyatanya hati yang ku
pegang erat itu semakin menghempaskanku dengan dahsyat.
Hati berbisik untuk menemui Arin dan
memperbaiki hubungan kita. Aku menghubunginya agar mau bertemu denganku di
tempat biasa kami saling bertemu. Yaris merah mengantarkanku menuju kerumah
Arin. Di dalam mobil, hanya kebisuan yang tercipta. Malam itu begitu dingin,
sedingin perasaan Arin padaku. Aku memberanikan memegang tangannya yang
terlihat kedinginan, dan waktu kurasakan membeku seketika.
Satu kata, dua kata mulai keluar
dari mulutku, ku katakan aku sangat menikmati kebersamaan kita. Kukilas lagi
kenangan-kenangan indah saat kami berdua bersama, meyakinkannya bahwa dia akan
bahagia jika terus bersamaku. Aku bisa melihat dari matanya bahwa dia mulai
muak dengan semua ini, tetapi aku tidak menyerah karena jika aku berusaha,
kisah kita mungkin akan berbeda mulai malam ini.
Kulihat lagi tulisan-tulisan indahku
yang pernah mewarnai dunia, tulisan-tulisan itu kutujukan hanya untuk Arin
seorang. Aku sangat merindukan waktu dimana dia menemaniku menulis untuknya.
Duniaku yang dulu sangat berwarna, dan sekarang yang tersisa hanyalah warna
abu-abu, begitu pekat sampai aku tidak dapat melihat warna yang lain. Sekali
lagi aku mencoba untuk membuka hatiku untuk yang lain agar bisa melupakannya,
tetapi hati ini menolak keluar dari sangkar.
Aku sadar bahwa esok hari berkutnya
yang terjadi hanyalah kenyataan bahwa kisahku dan Arin tinggal seberkas cahaya
pagi yang akan hilang ditelan bukit. Aku bukanlah pecundang yang mudah menyerah
atas apa yang terjadi, cintaku akan ku perjuangkan untuk Arin, dia adalah
satu-satunya.
Setelah sekian lama, akhirnya kesempatan
untuk mendapatkan hubungan yang utuh dengan Arin kembali. Walaupun sangat sulit
sesulit mengejar awan, tetapi aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Dia
masa lalu, masa kini, dan masa depanku.