RSS

Cerpen 2 "1800 DETIK"



1800 Detik
Karya : Alisa Latifatul Munawaroh

            Hampir 15 menit aku tenggelam dalam keadaan khawatir, was-was, takut dan tegang. Tak ada lagi yang bisa dipikirkan kecuali pulang ke rumah. Tak ada lagi yang bisa diperhatikan kecuali jarum jam. Semuanya tak terdengar dengan jelas, hening, kacau dan berantakan.
            Hari itu, hari terakhir aku menjalani tes kenaikan kelas, dari kelas VI ke kelas VII. Dari sebutan anak SD ke anak SMP. Dari sebutan seorang anak ke seorang remaja. Hari itu, merupakan hari terakhir aku mengadu nasib di bangku SD. Semuanya ceria, kecuali yang tidak. Semuanya bahagia, kecuali yang gagal dalam mengerjakan soal paling mematikan.
            Kembali terngiang ucapan ibu tadi pagi di benakku. Seakan-akan semuanya terbang dengan jelas di awang-awang.
“Nanti pulang jam berapa?” tanya ibu.
“Nggak tahu, kaya biasanya kok. Mungkin, ditambah 15 menitan” jawabku dengan lincah.
“Oh, lha mau ikut ibu pergi nggak?” tanya ibu untuk kedua kalinya.
“Kemana? Memangnya sekarang hari apa? Oh, iya. Mau ke tempat terapi kakak ya?” ucapku tanpa jeda.
“Iya” kata ibu dengan singkat, jelas dan padat.
“Dimana? Jauh?” tanyaku bergantian.
“Itu lho, mana? Ibu lupa. Oh itu, Wonokasian apa mana itu?” jawab ibu kurang meyakinkan.
“Oh, ya ya, nanti aku ikut. Yey, jangan ditinggal ya?” ucapku dengan senyum berbinar-binar.
“Asal pulangnya jangan kesiangan aja” kata ibu mengingatkan.
“Oke deh” jawabku sebagai penutup dari percakapan tadi.
Semua ingatan lari setelah dering bel masuk ke telinga kanan, dan berhenti di ujung telinga kiri. “Pulang-pulang, pulang-pulang. Pak pulangkan?” tiba-tiba sebuah kalimat meloncat dari mulut tanpa terkendali. Semua pandangan mata menuju satu arah. Seketika, aku merasakan sebuah kenyerian di tubuh, kenyerian karena menanggung rasa malu berlebihan.
Lima menit setelah bel berbunyi, aku tidak berani mengingatkan guru kalau waktunya pulang. Aku juga takut ditinggal pergi oleh ibu. Akhirnya dengan sekuat tenaga, aku memberanikan diri untuk pulang. Dan ternyata, gurupun mempersilakan dengan senang hati.
Aku melangkahkan kaki dengan cepat, takut tertinggal sebuah benda beroda empat dan berwarna hijau mirip lumut. Aku sudah merencanakan dengan matang sebelumnya, jikalau aku ditinggal, aku akan mengurung diri di kamar. Jikalau aku dinanti, aku akan memasang senyum lebar-lebar. Baru saja keluar dari gerbang sekolah, terdengar suara ibu yang merdu memanggilku. Kulihat ke sekeliling, ternyata semuanya telah menanti di seberang jalan. Langsung saja aku menghampiri dan memasukkan badanku ke dalam mobil.
Aku terpaksa berganti pakaian di dalam mobil. Maklum saja, aku belum pulang ke rumah. Dalam perjalanan, seperti biasanya, aku dan kakak laki-lakiku saling ledek untuk menghangatkan suasana, layaknya Tom dan Jerry. Ibu dan Kak Rifa hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarkan perdebatan kami.
Sampai tujuan, semuanya turun, kecuali Kak Pran, panggilan akrabku kepada kakak laki-lakiku. “Aku di sini saja ah, males keluar. Mending browsing internet” katanya.
“Ya sudah” ibuku menimpali.
“Mana hpnya?” jawab Kak Pran kembali.
“Hp apa? Lha itu yang di tangan apa?” sekarang giliranku yang menjawab.
“Hp yang buat internetan, pakai punyamu” ucapnya.
“Hah? Kok punyaku?” jawabku dengan nada bingung.
“Kasihkan saja, ayo cepat” tiba-tiba ibu menyuruh untuk memberikan hpku, aku hanya terdiam dan merelakan benda kesayanganku waktu itu, untuk menemani Tom di mobil.
Sejam berlalu, Kak Rifa sudah selesai terapi. Tidak seperti biasanya, kami memutuskan pulang melewati jalan menurun yang belum pernah dilewati sama sekali. Tapi, ada yang berkata bisa dilewati.
Saat sedang melewati jalan yang hanya cukup untuk satu mobil tersebut, kami kembali tertawa bersama. Samping kiri dari jalan adalah jurang, yang tertutup deretan pohon salak. Tiba-tiba, muncul sesosok laki-laki tua mengenakan pakaian bertani dari arah bawah.                         “Berhenti, jalan ini tidak bisa dilewati oleh mobil, jalan ini buntu, setelah tikungan ini ada jurang” kata bapak tadi mengingatkan.
“Hah? Tapi saya sudah bertanya, katanya bisa dilewati mobil Pak” jawab Kak Pran selaku supir.
“Tidak, tidak bisa. Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri!”
“Tidak usah Pak, saya percaya. Terimakasih sudah mengingatkan.”
“Iya, sama-sama”
Supir mulai bertindak, namun, mobilnya tidak bisa berjalan mundur. Ban depan tersangkut batu yang lumayan besar. Ibu menyuruh Kak Rifa dan aku turun untuk mengurangi beban, tapi semuanya sia-sia. Akhirnya, ibuku ikut turun juga, tak ada pengaruhnya. Kak Pran dalam keadaan serba salah, jika di jalankan mobil itu masuk jurang. Ia hanya bisa pasrah menginjak rem dan terus mencoba menjalankan mobilnya ke belakang. Sudah hampir sepuluh menit mencoba, tetapi tetap tidak bisa.
Bapak yang tadi mengingatkan, akhirnya mencari bantuan. Aku dan keluargaku ramai dikerubungi warga setempat, mereka membantu mengeluarkan mobil dari jalan yang mengerikan itu menggunakan tambang seadanya. Tak ada yang berbeda, mobil itu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dia tidak mau berjalan mundur. Aku dan Kak Rifa hanya bisa menangsis menyaksikan kejadian itu, sedangkan ibu membantu para warga.
Setelah semuanya hampir kehilangan asa, sebuah angkot lewat. Angkot tersebut diberhentikan oleh salah satu warga agar mau membantu kami. Ditalikan salah satu tambang pada angkot . Satu, dua, tiga, semua orang menarik kembali mobil kami, dibantu dengan tenaga angkot tadi.
Hampir 1800 detik kami terjebak dalam kengerian dunia, dalam keadaan mati ataupun bernyawa. Aku hanya bisa tertidur di mobil, setelah menghabisakan banyak air mata. Itu, adalah kejadian paling memilukan yang pernah aku alami. “Terimakasih ya Allah, Engkau masih memberikan pelindungan untuk keluargaku hari ini” batinku dalam hati.

Cerpen ini, gue buat berdasarkan pengaam gue. Selamat membaca, semoga bermanfaat :)

0 komentar:

Posting Komentar